c

Selamat

Jumat, 19 April 2024

EKONOMI

15 Maret 2018

22:17 WIB

Test Input with Froala

Test Input with Froala

Editor:

<p data-sider-select-id="71d42064-d3aa-4d64-b066-db7c79abe156"><em data-sider-select-id="964c42f8-fea0-4081-910f-30a1ed5e8e37"><strong><u>Test Input with Froala</u></strong></em></p>
<p data-sider-select-id="71d42064-d3aa-4d64-b066-db7c79abe156"><em data-sider-select-id="964c42f8-fea0-4081-910f-30a1ed5e8e37"><strong><u>Test Input with Froala</u></strong></em></p>

Test Input with Froala

JAKARTA – Sejak maju dalam pemilihan umum Amerika Serikat, Donald Trump kerap menyuarakan pesan untuk melindungi kepentingan ekonomi negara adidaya tersebut. America Great Again! Begitu jargon politik pada masa kampanye, yang akhirnya membawa sosok yang sering mengeluarkan pernyataan kontroversial ini ke Gedung Putih.

Bukan Trump jika pernyataannya tak memantik kontroversi. Terkini, Presiden Trump memutuskan menaikkan tarif bea masuk sebesar 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium. Kebijakan yang sudah sekian lama disuarakan dan menjadi polemik dunia tersebut akhirnya diumumkan pada Kamis (8/3) waktu setempat, tanpa bisa dicegah kendati ditentang banyak negara.

Tanpa menghiraukan Eropa, Asia, dan negara-negara mitra dagang Amerika; kebijakan Trump tersebut berlaku bagi semua negara, kecuali Kanada dan Meksiko. Khusus untuk kedua negara tersebut, tengah dirundingkan dengan AS terkait Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara NAFTA.

Menurut Presiden Trump, industri metal penting bagi keamanan nasional AS. Karena itu, membanjirnya baja dan aluminium menjadi serangan bagi kepentingan AS. Dengan kebijakan itu, Trump seolah “memaksa” perusahaan-perusahaan multinasional memindahkan pabrik peleburannya ke Negeri Paman Sam.

“Jika Anda tidak ingin membayar pajak, pindahkan pabrik Anda ke AS,” begitu ujar Presiden Trump seperti dikutip dari Reuters, Kamis (8/3).

Kebijakan ini dipastikan berlaku mulai 15 hari ke depan,. Tepatnya tanggal 23 Maret mendatang.

Meski sudah banyak diduga, pengumuman Presiden Trump tetap memantik protes. Industri berbahan baku baja dan aluminium dunia sontak mengkritik kebijakan tarif tersebut. Kebijakan tarif ini dinilai akan menimbulkan biaya tambahan bagi mereka dan menggerus daya saing.

“Harga baja di AS akan tinggi dan akan berdampak pada pelanggan. Mereka akan menggantikan produk kami dengan produk yang dihasilkan pesaing dari luar negeri dan mengimpornya dengan tarif bebas,” begitu pernyataan Asosiasi Precision Metalforming and National Tooling and Machining.

Tak kurang anggota Partai Republik yang mendukung Trump ikut memprotes kebijakan tersebut. Hanya dalam hitungan menit sejak pengumuman dibuat, Senator Jeff Flake dari Partai Republikan mengungkapkan, pihaknya akan menyusun sebuah undang-undang untuk membatalkan tarif tersebut. Menurutnya, pemberlakuan tarif tersebut akan merusak perekonomian Amerika Serikat. Karena itu, hal ini harus dihentikan.

“Apa yang disebut sebagai tarif fleksibel sebenarnya adalah perkawinan dua racun mematikan untuk pertumbuhan ekonomi, yakni proteksi dan ketidakpastian. Tidak ada yang menang dalam perang dagang, hanya ada kekalahan,” ujarnya seperti dikutip dari Businessinsider.com.

Senator asal Arizona ini meminta dukungan bagi rancangan UU tersebut sebelum kebijakan proteksi yang diambil Presiden Trump menimbulkan kerusakan pada perekonomian. Flake tak sendirian. Senator Ben Sasse yang seorang Republikan pun menyuarakan protesnya. Menurutnya, banyak hal yang akan dikorbankan jika hal tersebut dilakukan.

“Jika Presiden memberlakukan kebijakan itu, ini akan menghabiskan pekerjaan di Amerika. Itulah yang dilakukan oleh semua perang dagang,” serunya, dikutip dari New York Times.

Perang Dagang
Kekhawatiran para senator Republikan bukan tanpa alasan. Pasalnya, kendati akhirnya melunak, mendengar kebijakan yang diambil Trump, China sempat meradang.

Menteri Perdagangan China Zhong Shan dengan tegas menentang kebijakan tarif tersebut. Ia juga menyebutkan kebijakan Trump tersebut menjadi ancaman serius bagi tatanan perdagangan internasional. Belakangan, ia mengatakan perang dagang hanya membawa bencana bagi China, Amerika, dan perekonomian dunia.

“China tak menginginkan perang dagang dan tak akan memulainya. Namun, kami akan berusaha menjaga kepentingan kami,” tuturnya dikutip dari Bloomberg.

China memang menjadi salah satu sasaran tembak Trump terkait dengan kebijakan ini. Trump menuding Negeri Panda tersebut menjalankan perdagangan berat sebelah dengan AS. Trum merujuk defisit neraca dagang AS dengan China terus melebar setiap tahun.

Defisit dagang AS dengan China sepanjang 2017 saja tercatat sebesar US$375,22 miliar. Angka ini naik 8,12% dari tahun 2016 yang sebesar US$347,01 miliar. Ekspor AS ke China sepanjang 2017 hanya US$130,36 miliar. Sementara itu, impor AS dari China sebesar US$505,59 miliar.

Di luar China, beberapa mitra dagang AS juga mengancam akan mengambil tindakan balasan untuk kebijakan Trump tersebut. Uni Eropa bahkan siap menaikkan tarif bea masuk untuk produk-produk AS seperti jeruk, tembakau, dan minuman keras Bourbon.

Perusahaan Amerika Serikart seperti Boeing pun terkena getahnya. Boeing disebut-sebut bakal menjadi target dari perang dagang, mengingat produsen pesawat terbang ini mengekspor 80% dari produksi pesawat komersialnya. Karena itu, posisinya menjadi rentan dalam perang dagang, terutama dengan China yang memiliki pertumbuhan industri penerbangan paling cepat di dunia.

“Kemungkinan pembalasan oleh pasar tunggal terbesar mereka, China, akan mengangkat ini (kebijakan tarif) dari sebuah gangguan menjadi bencana,” kata Richard Aboulafia, Wakil Presiden Analis di Teal Group Corporation, dikutip dari New York Times, Rabu (14/3).

Ia menambahkan, perang dagang adalah cara termudah untuk memangkas pertumbuhan fantastis yang telah dinikmati oleh Boeing. Asal tahu saja, Boeing membukukan pendapatan sebesar US$93,4 miliar pada 2017. Diproyeksikan pendapatan akan meningkat menjadi US$96 – 98 miliar tahun depan.

Kekhawatiran juga disuarakan James Springer, mekanik yang bekerja pada pabrik Boeing di North Charleston, AS.

“Apa yang akan dilakukan Uni Eropa dan China, khususnya China? Mereka adalah pelanggan terbesar kami,” keluhnya.

Bidik China
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menyebutkan, sesungguhnya kebijakan yang diberlakukan Trump menyasar China. Pasalnya, negara-negara yang selama ini menjadi pemasok utama baja ke Amerika justru dikecualikan dari kebijakan tersebut.

“Geopolitik strategisnya. AS dengan kedok defisit perdagangan AS makin melebar dengan berbagai macam kedok. Sebenarnya sasaran utamanya adalah China,” ujarnya kepada Validnews, Kamis (15/3).

Berdasarkan data UN Comtrade, AS pada 2016 mengimpor besi dan baja senilai US$22,46 miliar dari seluruh dunia. Besi dan baja ini paling banyak didatangkan dari Kanada dengan nilai US$4,23 miliar. Brasil dan Korea Selatan berada di urutan berikutnya, yakni secara berurutan masing-masing US$2,18 miliar dan US$1,83 miliar.

Meksiko berada di urutan keempat pemasok besi dan baja ke AS dengan nilai US$1,48 miliar. Diikuti oleh Rusia dengan nilai US$1,38 miliar. Sementara itu, China berada di urutan 10 negara asal impor dengan nilai US$683,56 juta.

Nilai ekspor besi dan baja AS ke dunia memang lebih kecil dibandingkan nilai impornya. Masih dari data UN Comtrade, nilai ekspor AS untuk produk dengan Kode HS 72 ini mencapai US$12,87 miliar. Sama halnya dengan impor, Kanada menjadi partner terbesar. Di tahun ini, ekspor besi dan baja AS ke negara tersebut mencapai US$4,23 miliar. Meksiko menempati urutan kedua dengan nilai US$3,82 miliar.

Di sisi ekspor ini, China menempati urutan ketiga dengan nilai US$861,57 juta. Nilai ini lebih besar ketimbang nilai impor besi dan baja AS dari China.

Menurut Bhima, Trump ingin menaikkan bargaining power dengan China sekalipun volume ekspor besi dan baja China ke AS tidak terlalu besar. Dalam trade war, dikatakan Bhima, tetap ada diskriminasi.

“Negara-negara yang menjadi aliansi AS, seperti Kanada, tinggal telepon saja. Oke, saya naikkan bea masuk ini, tetapi produk Kanada dan Australia bebas dulu sementara. Artinya, tujuannya balancing power dengan China,” imbuh Bhima.

Ia memprediksi, perang tarif ini akan terus berlanjut. Serial kebijakan yang menghambat masuknya barang-barang China ke AS juga akan kembali muncul. Apalagi, saat ini AS merupakan pasar bagi berbagai produk China, mulai dari makanan, baju, hingga teknologi.

“Ini nggak selesai ceritanya. Akan ada sequence lain, lanjutan dari perang dagang ini. Tahun kemarin kan CPO, diotak-atik. Ke depannya mungkin saja tekstil. Kemudian Trump sudah beberapa kali mengancam perusahaan teknologi. Jadi, saya kira besi dan baja hanya satu dari rangkaian panjang nanti barang yang akan dikenakan tarif impor lebih mahal,” urainya.

Ekonomi Menyusut
Perang dagang ini sesungguhnya tak hanya mendatangkan dampak bagi AS dan mitra dagangnya. Lebih lanjut, perang dagang ini bisa membebani perekonomian global hingga US$470 miliar. Perekonomian global pun dikhawatirkan menyusut 0,5% pada 2020 dibandingkan jika kebijakan penaikan tarif tidak diberlakukan. 

Hal tersebut diungkapkan ekonom dari Bloomberg Economy, Jamie Murray dan Tom Orlik. Mereka mengaku, pandangan ini memang merupakan skenario yang ekstrem.

“Namun, bukan tak mungkin terjadi,” ujar mereka dikutip dari Bloomberg, Senin (12/3).

Menurut mereka, kebijakan tarif yang berujung pada perang dagang itu akan menimbulkan gejolak ekonomi melalui berbagai cara. Gejolak dimulai dari inflasi yang dengan segera akan memangkas permintaan konsumen AS, yang pada gilirannya akan merugikan ekspor negara lain. Pembalasan kebijakan tarif yang dibalas oleh negara lain juga akan menghantam ekspor AS. Dampaknya, ekonomi AS diperkirakan menyusut 0,9% dibandingkan jika kebijakan tarif tak diberlakukan.

Meski Bloomberg Economics memandang Bank Sentral AS, The Fed, akan bergerak untuk mengatasi inflasi, hal itu hanya bersifat sementara. Pasalnya, bank sentral akan menghadapi pilihan sulit, antara mengatasi pertumbuhan harga yang lebih cepat dan permintaan yang melemah lantaran perang dagang. Pilihan sulit ini tak hanya dihadapi The Fed, namun juga bank dunia negara lain.

Bloomberg Economics mengestimasikan, perdagangan global akan menyusut 3,7% pada 2020. Dampaknya, ekonomi global akan melemah 0,2% di 2019 dan 0,3% di 2020.

Senada, Bhima menyebutkan kebijakan Trump ini akan berdampak ke gross domestic product (GDP) dunia. Pasalnya, besi dan baja digunakan di banyak industri.

“Itu di luar skenario mereka sih kelihatannya. Sebenarnya ini aksi yang agak gimana ya. Mau balancing of power. tapi kok ya agak payah juga ya. Kenapa? Karena industri otomotif AS jadi jerit-jerit. Jadi, saya rasa, ini strategi yang nanti akan blunder sendiri buat AS,” ujarnya.

Menurutnya, kebijakan Trump ini bisa mengakibatkan harga minyak mentah juga agak anjlok karena permntaan energi yang menurun.

“Rembesannya nanti ke komoditas lain,” pungkasnya. (Fin Harini, Teodora Nirmala Fau)

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar