c

Selamat

Jumat, 19 April 2024

EKONOMI

07 Agustus 2021

18:00 WIB

Test Input with Froala

Test Input with Froala

Penulis: Zsasya Senorita,Fitriana Monica Sari,Khairul Kahfi,

Editor: Fin Harini

<p data-sider-select-id="71d42064-d3aa-4d64-b066-db7c79abe156"><em data-sider-select-id="964c42f8-fea0-4081-910f-30a1ed5e8e37"><strong><u>Test Input with Froala</u></strong></em></p>
<p data-sider-select-id="71d42064-d3aa-4d64-b066-db7c79abe156"><em data-sider-select-id="964c42f8-fea0-4081-910f-30a1ed5e8e37"><strong><u>Test Input with Froala</u></strong></em></p>

Test Input with Froala

JAKARTA – Pandemi covid-19 berikut pembatasannya membuat angka kemiskinan kian meningkat. Hingga Maret 2021 saja, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,54 juta orang.

Dibandingkan September 2020, jumlah penduduk miskin memang menurun 0,01 juta orang. Namun, jika dibandingkan dengan Maret 2020, jumlah penduduk miskin meningkat sebanyak 1,12 juta orang.

Dengan demikian, persentase penduduk miskin pada Maret 2021 tercatat sebesar 10,14%, turun 0,05% poin terhadap September 2020 dan naik 0,36% poin terhadap Maret 2020.

Lebih rinci, merujuk data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diolah Badan Pusat Statistik (BPS) pada periode Maret 2010–Maret 2021, tingkat kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan, baik dari sisi jumlah maupun persentase, kecuali pada September 2013, Maret 2015, Maret 2020, dan September 2020.

Kenaikan jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode September 2013 dan Maret 2015 dipicu oleh kenaikan harga barang kebutuhan pokok sebagai akibat dari kenaikan harga bahan bakar minyak.

Di sisi lain, kenaikan jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode Maret 2020 dan September 2020 disebabkan oleh adanya pandemi covid-19 yang melanda Tanah Air.

Dampak ikutan dari angka kemiskinan, salah satunya adalah naiknya angka pekerja anak.

"Penghasilan orang tua yang rendah, menyebabkan anak terpaksa mengikuti jejak orang tuanya untuk bekerja, meskipun tanpa mempunyai bekal keterampilan," kata Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar kepada Validnews, Kamis (5/8).

Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Agustus 2020, diketahui 9 dari 100 anak usia 10-17 tahun bekerja. Disebutkan, jumlahnya mencapai 9,34% yang setara dengan 3,36 juta anak bekerja. Dari 3,36 juta anak yang bekerja tersebut, sebanyak 1,17 juta merupakan pekerja anak.

Nahar menjelaskan, kriteria anak yang bekerja merupakan anak yang melakukan pekerjaan karena membantu orang tua, latihan keterampilan, dan belajar bertanggung jawab.

Membantu mengerjakan tugas-tugas di rumah, membantu pekerjaan orang tua di ladang, dan lain-lain, adalah contohnya.

Sementara, pekerja anak diartikan melakukan segala jenis pekerjaan dan memiliki sifat atau intensitas yang dapat mengganggu pendidikan, membahayakan keselamatan, kesehatan, serta tumbuh kembangnya.

Jika membandingkan data Sakernas 2020 dan 2019, kata Nahar, terlihat bahwa persentase pekerja anak di Indonesia meningkat dalam kurun waktu dua tahun terakhir.  

"Peningkatan pekerja anak justru terjadi pada kelompok umur 10–12 tahun dan 13–14 tahun," paparnya.

Masih dari data yang sama, pekerja anak lebih banyak berada di pedesaan dibandingkan dengan perkotaan. Perbandingannya sekitar 4,12% berbanding 2,53%. Dilihat dari jenis kelamin, pekerja anak laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan, yakni mencapai 3,34% berbanding 3,16%.

Meskipun demikian, ILO menyebutkan terdapat kemungkinan banyak pekerjaan anak perempuan yang tidak terhitung, karena mereka banyak mengerjakan beban perawatan tidak berbayar seperti mengurus rumah tangga," ujar Nahar.

Selain kemiskinan, banyak faktor yang mengakibatkan adanya pekerja anak.  

Ada budaya/tradisi/kebiasaan menjadi salah satunya. Pola asuh dan keluarga yang beranggapan bahwa anak memang seharusnya bekerja, masih banyak.

Anak bekerja didasarkan argumen agar mendapatkan pendidikan kerja dan persiapan menghadapi kehidupan apabila anak tersebut sudah dewasa.

"Secara tidak disadari, adanya budaya, tradisi, kebiasaan tersebut menghantarkan anak-anaknya sebagai pekerja anak yang seharusnya belum waktunya untuk bekerja," terangnya.

Terakhir, yakni faktor pendidikan. Berawal dari pendidikan orang tua yang rendah, ditambah adanya keterbatasan ekonomi dan tradisi, maka banyak orang tua mengambil jalan pintas agar anaknya berhenti sekolah dan lebih baik bekerja dengan sejumlah alasan.

Mulai dari perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, biaya pendidikan mahal, serta sekolah tinggi akhirnya jadi penganggur.

Dampak Pandemi
Nyatanya, kehadiran pandemi ternyata menambah pelik masalah pekerja anak. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi covid-19 , berisiko meningkatkan jumlah pekerja anak. Adanya pandemi kian memunculkan ketimpangan akses teknologi informasi di samping krisis lainnya.

Krisis ekonomi ditambah pandemi menyebabkan berkurangnya pekerja dewasa pada sektor-sektor tertentu.  Kondisi ini memaksa banyak anak membantu orang tua mencari tambahan penghasilan.

Hal ini tergambar dalam survei pekerja anak yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2020 di 9 provinsi, 20 kabupaten/kota.

Dari hasil wawancara dengan orang tua, ditemukan sebanyak 69,2% anak membantu perekonomian orang tua dampak dari pandemi. Bahkan, 50% orang tua menganggap selama wabah, anak selain di rumah sebaiknya juga membantu mencari tambahan penghasilan.

Di lingkup global, publikasi Organisasi Buruh Internasional (ILO) terbaru pada Juni 2021 melaporkan, ada sebanyak 160 juta anak berusia 5-17 tahun yang menjadi pekerja. Sebanyak 55,8% merupakan pekerja anak berusia di bawah 11 tahun dan 22,3% berusia 12-14 tahun.

Artinya, ada 78,1% anak yang bekerja di luar ketentuan hukum. Padahal, Konvensi ILO Nomor 139 menyebutkan, batas usia anak yang diperbolehkan bekerja minimal 15 tahun, itupun dengan sejumlah syarat.

Selain itu, tingginya angka kematian akibat covid-19 dapat berpengaruh langsung kepada anak, terutama mereka yang harus kehilangan orang tuanya. Banyak mereka menjadi putus sekolah dan masuk ke dunia kerja dalam usia masih sangat muda.

Padahal, lingkungan kerja yang berbahaya membawa pengaruh buruk terhadap proses tumbuh kembang anak. Ujungnya, juga akan berpengaruh pula terhadap kualitas dan produktivitas generasi muda.

Karena itu, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Nadia Fairuza berharap agar semua anak tetap bisa bersekolah. Lagi pula, amanat undang-undang menegaskan bahwa setiap anak di Indonesia itu punya hak untuk mengenyam pendidikan, setidaknya pendidikan dasar.

Namun, dia berpendapat, untuk masalah terkait anak, diperlukan kerja sama antara pemerintah dan ekosistem pendidikan. Sebab, tidak bisa hanya memasukkan komponen pendidikan saja untuk menyelesaikan masalah ini.

"Pemerintah perlu bertindak untuk hal ini. Karena, pandemi berkepanjangan juga salah satu penyebabnya adalah ketidakjelasan pemerintah yang tidak tegas dalam mengatasi pandemi ini," tukas Nadia dalam perbincangan dengan Validnews, Jumat (6/8).

Pemerintah semestinya memetakan siapa saja anak-anak yang menjadi korban dalam pandemi ini. Adanya data ini menjadi dasar tindakan intervensi yang pas. Adapun bantuan-bantuan reaksioner, semisal bantuan sesaat warga atau kepala daerah terhadap anak yatim-piatu karena kedua orang tua meninggal tersebab pandemi, bukan lah jawaban. Perlu ada pihak yang memantau anak-anak itu secara berkala.  

Upaya Penanggulangan
Sebaliknya, Nahar mengatakan, pekerja anak merupakan permasalahan yang kompleks. Persoalan pekerja anak harus ditangani banyak pihak bersama-sama, dan berkelanjutan.  

Pemerintah, menurutnya, telah menggandeng berbagai pihak tersebut, untuk mewujudkan Indonesia Bebas Pekerja Anak pada tahun 2022. Ada sejumlah beleid yang mengaturnya.  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pasal 68 hingga 75 dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 59, adalah dua yang utama.

Berdasarkan aturan ini, anak korban eksploitasi ekonomi, termasuk pekerja anak, wajib diberikan upaya perlindungan khusus dan dipenuhi hak-haknya.

Penghapusan pekerja anak juga terintegrasikan dalam skema Kota/Kabupaten Layak Anak (KLA) yang diterapkan sejak tahun 2016. Hingga saat ini, sudah 435 kabupaten/kota mendeklarasikan diri menuju KLA, dengan implementasi di tingkat hulu melalui Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA).  Penanganan pekerja anak menjadi salah satu indikator utama yang dievaluasi.  

Dalam menjalankan berbagai aturan itu, ada pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi. Serta, pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

Kebijakan sesuai prosedur perundangan di atas, dikatakan Nahar, sama tetap dapat diterapkan pada masa pandemi ini.

Namun, diakui, masih banyak stakeholder yang belum memahami terkait isu pekerja anak.  Karenanya, pemerintah menurunkan kader di 2.000 desa di 34 provinsi, yang telah dilatih untuk mengedukasi masyarakat tentang pencegahan kekerasan terhadap anak, termasuk eksploitasi ekonomi anak, serta melakukan upaya deteksi dini dan berkoordinasi dengan pihak terkait untuk melaporkan temuan-temuan pekerja anak.

Kementerian PPPA juga sudah membuat saluran pengaduan melalui Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 yang dapat dihubungi masyarakat untuk melaporkan jika mereka melihat, mendengar atau mengalami kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya terhadap perempuan dan anak.

Selain melalui telepon 129, layanan ini juga dapat diakses melalui pesan singkat melalui 08111 129 129.

Sub Koordinator Pengawasan Norma Perlindungan Pekerja Anak Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Retno Widowati juga menyebutkan beberapa komitmen yang telah dilakukan pemerintah dalam menanggulangi pekerja anak. Banyak aturan menjadi hal yang dikedepankan.

"Diantaranya meratifikasi Konvensi ILO No. 138/1973 tentang Batas Usia Minimum untuk Bekerja melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 1999," kata Retno kepada Validnews, Jumat (6/8).

Indonesia juga meratifikasi Konvensi ILO No. 182/1999 tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.  Adopsi konvensi ini ada pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.

Dari upaya-upaya itu, sejak tahun 2008 hingga 2020, Kemnaker mengklaim telah berhasil menarik 143.456 anak dari tempat kerja.

Retno menuturkan, hal tersebut merupakan hasil dari program pengurangan pekerja anak yang terintegrasi dengan Program Keluarga Harapan. Tujuannya, mengurangi jumlah pekerja anak dari rumah tangga miskin yang putus sekolah dengan menarik mereka. Pekerja anak yang diselamatkan ini diberi pendampingan di shelter. Mereka dimotivasi agar mau kembali ke dunia pendidikan.  

Nah, pada pandemi ini, Retno optimistis, kegiatan penarikan pekerja anak oleh Kemnaker yang dilaksanakan dengan sheltering pada sebelum pandemi itu, dapat kembali diterapkan.  Kegiatan ini bisa dilakukan dengan protokol kesehatan ketat atau bisa juga dengan metode lain, yaitu pendampingan melalui online.

Beragam program ini juga ada dalam Pencanangan Zona Bebas Pekerja Anak di banyak provinsi.  Target Kemnaker selanjutnya terkait pekerja anak, yaitu melibatkan semua stakeholder terkait untuk membahas Revisi Roadmap 2022 sebagai kelanjutan Roadmap Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak.


Nahar mengakui, persoalan pekerja anak ke depan kian besar. Tapi, dia meyakini sejumlah strategi bisa diterapkan mengatasinya. Antara lain dengan mengembangkan basis data pekerja anak, memperkuat koordinasi dan kolaborasi antara pemangku kepentingan, dan mengembangkan model desa ramah perempuan dan peduli anak.

Hal yang juga dilakukan adalah melakukan pencegahan bersama adanya pekerja anak pada empat sektor prioritas, yakni pertanian, perikanan, jasa, dan pariwisata.

Dan, dia meyakinkan bahwa pemerintah terus melakukan upaya pendekatan dari sisi kebijakan dan program untuk menstimulus pengembalian persepsi bahwa anak bukan sebagai pekerja. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar