c

Selamat

Jumat, 26 April 2024

EKONOMI

26 Juli 2021

21:00 WIB

Test Input with Froala

Test Input with Froala

Penulis: Yoseph Krishna

Editor: Fin Harini

<p data-sider-select-id="71d42064-d3aa-4d64-b066-db7c79abe156"><em data-sider-select-id="964c42f8-fea0-4081-910f-30a1ed5e8e37"><strong><u>Test Input with Froala</u></strong></em></p>
<p data-sider-select-id="71d42064-d3aa-4d64-b066-db7c79abe156"><em data-sider-select-id="964c42f8-fea0-4081-910f-30a1ed5e8e37"><strong><u>Test Input with Froala</u></strong></em></p>

Test Input with Froala

JAKARTA – Tren menikmati kopi melonjak beberapa tahun terakhir. Banyak masyarakat, khususnya kalangan muda yang ramai-ramai mendatangi bermacam coffeshop ataupun belajar meracik kopi secara professional. Lihat saja, di banyak sudut kota, sampai perkampungan, kedai kopi ada.

Tak satu orang pun yang dapat memastikan kenapa fenomena perkopian menjadi sebegitu ramainya, terlebih di kalangan anak muda setidaknya dalam 3–4 tahun belakangan ini. Hingga istilah-istilah rambut gondrong, kopi, senja, anak indie, dan bermacam sebutan lain kerap terdengar di berbagai tongkrongan anak muda.

Namun jauh sebelum tren perkopian digandrungi anak-anak muda, Chendra Wiharjo sudah melirik sektor tersebut pada 2012. Kala itu, ia mendirikan Woca dan menjadi supplier bagi supermarket dan tempat-tempat strategis lain di destinasi wisata.

Sebutlah kawasan yang ramai akan wisatawan mancanegara, seperti Bali dan Batam, Woca pasti ada. Chendra mengakui kala itu, wisatawan lokal tak menjadi pasarnya. Menjual aneka kopi-kopi khas Nusantara, Chendra melirik wisatawan mancanegara yang tengah menikmati pelesiran di Indonesia.

Padahal, Chendra bukanlah seorang expert dalam dunia peracikan kopi.  Dia mengaku, sebagai penikmat kopi sebelum memulai bisnis di sektor perkopian itu.

“Lumayan hobi (kopi.red), tapi hanya sebatas penikmat, bukan expert atau banyak orang yang bilang istilahnya pendekar, enggak, saya enggak di situ. Hanya sebatas peminum kopi,” ujarnya kepada Validnews di Jakarta, Rabu (21/7).

Sayang seribu sayang, Woca yang bisa dibilang sebagai bisnis pendukung sektor pariwisata tersebut harus ikut merasakan pil pahit sejak pandemi covid-19 masuk ke Indonesia pada Maret 2020 silam. Penutupan border wisatawan mancanegara membuat napas Woca megap-megap. 

Tak ada wisman yang datang periode Maret–April 2020, penjualan drop begitu saja, dan bermacam dampak negatif lainnya ditanggung Woca.

Tak mau hanyut terhempas badai, Woca pun mengubah segmentasi. Dari yang sebelumnya menyasar wisatawan mancanegara menjadi ke turis domestik. Sayangnya, itupun tak banyak berpengaruh. Tak banyak yang berwisata, di bawah bayang-bayang pandemi.

Kemudian, Chendra memutar-mutar otak untuk bisa mempertahankan bisnisnya. Akhirnya pada Juni 2020, ia memutuskan untuk mendirikan brand baru, yakni Arutala Coffee, sekaligus memulai kiprahnya dalam hal penjualan online.

“Begitu pandemi, kita membuat brand baru khusus untuk pasar lokal. Saat pandemi ini memang yang paling memungkinkan untuk penetrasi penjualan adalah pasar online,” ungkap Chendra.

Minim Modal
 
Dalam perjalanannya mendirikan Arutala Coffee, Chendra mengaku tidak menanamkan modal baru. Ia memanfaatkan resource yang sebelumnya digunakan Woca untuk digunakan Arutala Coffee.

Para karyawan Woca pun tak ada satupun yang terkena PHK akibat pandemi. Mereka boyongan  berpindah ke Arutala Coffee. Hanya, saat awal-awal brand baru berdiri, ia langsung merekrut tiga orang karyawan yang kemudian terus berkembang. 

Berpusat di Kota Tangerang, Banten, Chendra mengatakan, saat ini Arutala Coffee telah memiliki setidaknya 25 orang karyawan di berbagai sektor produksi yang ada di brand tersebut.

“Perusahaan pariwisata lain banyak yang memecat karyawan, tapi kalau kita menjaga banget karyawan ini. Untuk karyawan kantor pusat tidak ada pemotongan, jadi yang sebelumnya di Woca, kita alihkan ke Arutala,” tuturnya.

Ia memersepsikan Arutala Coffee hanyalah inovasi berkelit dari hantaman pandemi. Hal yang ada di Arutala Coffee tak jauh berbeda dengan apa yang berada di Woca kala itu. 

Dari awal Woca berdiri, drop akibat pandemi, lalu Arutala Coffee terlahir, Chendra tidak membuka coffeeshop sendiri. Fokusnya menjadi supplier bahan-bahan yang digunakan oleh bermacam kafe. Mulai dari biji kopi utuh, biji kopi yang sudah digiling, hingga sejumlah perlengkapan menyeduh kopi.

Ketika Arutala Coffee terlahir, Chendra menyajikan lima jenis kopi Nusantara, yakni Kopi Gayo dari Aceh, Kopi Toraja, Kopi Jawa, Kopi Flores, hingga Kopi Papua.  Kemudian, perluasan produk dilakukan, mulai dari Kopi Mandailing dan lain sebagainya.

Ketika awal mula berdiri, Arutala masih menjual produk-produknya kepada para reseller. Sayangnya, hasil penjualan kepada reseller itu tidak begitu memuaskan. Dari sini, dia kemudian membuka lapak online untuk menjual langsung kepada konsumen. 

Awal membuka, Arutala Coffee tak dikenal orang. Barulah pada September–Desember 2020, Arutala Coffee mulai dikenal masyarakat.

Dia bercerita juga soal kopi dan penggemarnya. Hingga kini penggemar jenis robusta dan arabika masih sama kuat. Sementara untuk produk terlaris masih didominasi oleh Kopi Gayo dengan persentase sekitar 30%. Sisanya, sebanyak 70% terbagi rata ke produk Arutala lainnya yang kini semakin beragam.

Keinginan Chendra untuk menduniakan Kopi Nusantara ini tak lepas dari kondisi masyarakat Indonesia sendiri.  Masih banyak yang belum mengenali kopi-kopi khas tanah air. Menurut Chendra, kebanyakan dari mereka masih stuck hanya di tingkatan kopi instan.

“Pada intinya kita mau mengajak untuk minum kopi lebih benar lah, bukan kopi instan. Jadi, kita angkat itu daerah-daerah original di Indonesia yang (kopinya.red) enak-enak itu banyak, kita coba masuk ke situ dengan harga yang masuk akal,” kata dia. 

Puncak popularitas Arutala di kalangan penikmat kopi itu beriringan dengan meningkatnya penjualan. Meski tidak menyebut rata-rata penjualan waktu awal berdiri, Chendra menjelaskan hingga saat ini Arutala Coffee setiap bulannya mampu menjual lebih dari 10.000 pack produk mereka.

Tantangan
 
Membuka lapak digital berdasar minim pengalaman, adalah tantangan buat Chendra. Kala Arutala lahir, dia mau tak mau mempelajari karakteristik dan pola konsumsi di platform e-commerce, mulai dari sistem penjualan hingga mengulik cara agar produk Arutala setidaknya bisa terlihat di akun konsumen. 

Dia juga mempelajari urusan timbal balik konsumen terhadap produk yang dibeli. Jika menjual secara offline, konsumen bisa melayangkan komplain secara langsung kepada manajemen. Karenanya, perusahaan ini kemudian terfokus pada pelayanan konsumen. Ia bahkan menjadikan kepuasan konsumen menjadi prioritas di atas segala aspek bisnisnya.

Nah, kalau di online, benar-benar ter-posting itu testimonialnya, misalnya produk jelek, itu orang lain bisa langsung lihat,” pungkasnya. 

Sebagai implementasinya, konsumen yang membeli melalui situs resmi Arutala, bisa mendapatkan garansi bila kurang puas dengan produk yang dibeli. Garansi itu pun masih tetap berlaku apabila kemasan sudah telanjur dibuka oleh pembeli.

Kondisi pandemi juga masih tetap menjadi tantangan tersendiri.  Adaptasi terhadap protokol-protokol kesehatan dalam kegiatan produksi, seperti memakai masker dalam proses roasting biji kopi menjadi hal yang harus dibiasakan dalam operasional keseharian.

“Apalagi di tempat roaster itu kan panas banget, mereka harus pakai masker ini sebuah tantangan besar. Semua karyawan di office juga harus pakai masker,” kata dia.

Arutala Coffee mulai diperkenalkan ke pasar pada pertengahan 2020. Arutala/Dok

Serap Produk Petani
 
Soal sumber bahan baku, perusahaan ini juga memperhatikan produksi petani. Bahan-bahan biji kopi secara langsung dari petani kopi di berbagai daerah di Indonesia. 

Namun demikian, langkah untuk menyerap produk kopi langsung dari petani tersebut masih dilakukan secara informal alias tanpa adanya perjanjian kontrak tertentu secara tertulis. Chendra menyebut hal itu tak lepas dari faktor petani yang masih belum bisa untuk mendalami kontrak secara tertulis.

Beranjak dari bisnis ini, Chendra ke depannya berencana akan membuat suatu kebun kopi sendiri dengan penamaan khusus. Impiannya, kebun juga dirancang sebagai wahana wisata kopi bagi masyarakat. 

Mengingat maraknya brand kopi , dia mengakui harus ada positioning khusus. Karenanya, Arutala Coffee yang menonjolkan proses roaster dan menciptakan ciri khas pada biji kopinya. 

Menurut Chendra, 50% cita rasa kopi diciptakan saat roasting, sisanya ketika proses penyeduhan. Dengan begitu, proses pemanggangan biji kopi menjadi aspek yang sangat vital dalam produksi Arutala Coffee. 

Dengan cara seperti itu, dia yakin harga kopi bisa lebih masuk akal . Sehingga semua kalangan bisa menikmati secangkir kopi original, bukan kopi instan yang masih menjamur di masyarakat.

“Jika merek lain dengan harga tertentu hanya dapat 1 pack, di tempat kami bisa 2-3 pack, mereka (konsumen) bisa lebih explore. Jadi, posisi kita adalah menjual proses roasting, makanya tagline kita The Secret of Roasting,” pungkas Chendra.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar