c

Selamat

Sabtu, 27 April 2024

EKONOMI

18 Agustus 2021

13:41 WIB

Usaha Mikro Milik Perempuan Semakin Rentan di Tengah Pandemi

CIPS menilai, langkah digitalisasi mampu mendukung kelangsungan usaha mikro perempuan nasional

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Fin Harini

Usaha Mikro Milik Perempuan Semakin Rentan di Tengah Pandemi
Usaha Mikro Milik Perempuan Semakin Rentan di Tengah Pandemi
Pelaku UMKM menunjukkan produk makanan industri rumahan yang sudah dibe ri lebel kemasan di Lhokseumawe, Aceh, Jumat (13/8/2021). ANTARAFOTO/Rahmad

JAKARTA – Pandemi membawa dampak ekonomi signifikan untuk UMKM, termasuk usaha mikro yang dimiliki perempuan. Terbatasnya ruang gerak akibat implementasi berbagai kebijakan pembatasan sosial membuat kegiatan usaha tidak lagi efektif kalau hanya dijalankan secara offline.

Karena itu, Peneliti CIPS Noor Halimah Anjani menjelaskan, digitalisasi atau penggunaan internet dalam transaksi jual beli menjadi salah satu cara efektif agar pengusaha UMKM tetap dapat menjalankan usahanya. 

Peluang pengembangan usaha secara digital terlihat dari laporan Google, Temasek, dan Bain & Company (2020), terdapat peningkatan konsumen digital sebanyak 37% akibat pandemi.

Sementara itu, perempuan juga merupakan pihak lebih terdampak pandemi daripada laki-laki. Pandemi menyebabkan bertambahnya waktu yang dihabiskan di rumah dan pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial. 

"Akibatnya, waktu yang dihabiskan untuk pekerjaan rumah tangga dan merawat anggota keluarga (unpaid care work) seturut meningkat. Meningkatnya intensitas kegiatan domestik yang dikerjakan perempuan membuat waktu produktif mereka berkurang," terangnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (18/8).

Sementara itu, hal tersebut terjadi di tengah penurunan produktivitas usaha yang justru membutuhkan perhatian lebih. Seharusnya, pengusaha mikro perempuan diberikan dukungan tambahan dan spesifik dalam menjaga keberlangsungan bisnisnya. 

Selain itu, perempuan pelaku usaha juga sering kali dikecualikan dari bantuan-bantuan sosial pemerintah karena data yang tidak terbaharui dengan baik. 

Survei yang dilakukan UNWomen (2020) pada 1,865 UKM menunjukkan, sekitar 81% perempuan pelaku usaha informal tidak mendapatkan bantuan dari bantuan Program Pemulihan Ekonomi. Hanya 1% perempuan pelaku usaha yang menyatakan mendapatkan bantuan, dengan proporsi ini lebih rendah dari pengusaha laki-laki sebanyak 2%.

Genderisasi Data UMKM 
 Ke depan, Halimah melihat terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan Kemenkop UKM atau dengan kerja sama dengan kementerian terkait lainnya seperti Kemendag, untuk dapat meningkatkan efektivitas digitalisasi pengusaha mikro perempuan. 

Penelitian CIPS merekomendasikan perlunya pembuatan basis data tunggal UMKM dan memasukkan data berbasis gender. UU Cipta Kerja telah memandatkan pembuatan basis data tersebut pada pasal 88.

“Dibutuhkan juga data yang dipilah berdasarkan gender untuk membantu proses penargetan program digitalisasi menjadi lebih tepat sasaran,” imbuh Halimah.

Lalu, program digitalisasi seharusnya dipetakan dan turut diprioritaskan untuk pengusaha mikro perempuan, terutama mereka yang belum sama sekali menggunakan platform e-commerce. Strategi ini berguna untuk menghindari tumpang tindih pelatihan dengan target pengusaha yang sama.

Selain itu, tidak selamanya pengusaha mikro dapat bergantung pada dukungan pemerintah karena sumber daya yang terbatas. Dalam mempercepat digitalisasi, perlu ada inisiasi independen dari pengusaha mikro sendiri. 

"Untuk mendukung usaha digitalisasi mandiri, pemerintah melalui Kemendag dapat mendukung melalui pengurangan hambatan dalam bisnis daring," ujarnya. 

Kemendag dapat mempertimbangkan merevisi Permendag 50/2020 yang memandatkan semua penjual online untuk memiliki izin. Saat ini, untuk memperoleh Izin Usaha Mikro Kecil (IUMK), dibutuhkan surat pengantar dari kecamatan, KTP dan Kartu Keluarga pemilik usaha, foto, dan formulir aplikasi yang terisi. 

"Walau sudah disederhanakan, belum semua pengusaha mikro yang berada di pedesaan dapat mengakses Online Single Submission atau OSS," katanya. 

Tetap Lindungi Konsumen 
Sebagai kompensasi izin, Halimah ungkapkan, upaya penegakan hukum untuk melindungi konsumen online juga harus digencarkan. Penegakan hukum dapat dilakukan dengan merevisi UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Meski sebagian besar transaksi online diatur dalam UU 11/2008 dan UU 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta PP Nomor 71/2019. Namun tetap dibutuhkan penguatan melalui level UU yang dapat memberikan sanksi pidana. 

"Selain itu, UU ITE dan PP Nomor 71/2019 belum memasukkan beberapa area penting terkait transaksi online, seperti mode bisnis dropshipping serta penanganan mekanisme keluhan antar-negara," tegasnya. 

Secara umum, kondisi kegiatan perdagangan di dalam negeri sempat membaik pada kuartal kedua 2021. 

BPS mencatat, pertumbuhan PDB lapangan usaha sektor perdagangan berhasil tumbuh 9,44% (yoy). Spesifik, kelompok perdagangan besar dan eceran, bukan mobil dan sepeda motor tumbuh 4,77% (yoy).

Hal ini sejalan dengan pertumbuhan PDB pengeluaran via konsumsi rumah tangga yang berhasil tumbuh 5,93% (yoy). Adapun Indeks Keyakinan Konsumen nasional berhasil menyentuh 104,42 poin, lebih tinggi daripada kuartal II/2020 yang hanya sebesar 82,14 poin. 

Sementara, penjualan eceran tumbuh sebesar 11,62%. Penguatan terjadi pada kelompok penjualan, yaitu makanan, minuman, dan tembakau; sandang; suku cadang dan aksesoris; bahan bakar kendaraan; serta barang lainnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar