c

Selamat

Kamis, 25 April 2024

EKONOMI

27 Agustus 2021

20:48 WIB

Test Input with Froala

Test Input with Froala

Penulis: Fitriana Monica Sari

Editor: Fin Harini

<p data-sider-select-id="71d42064-d3aa-4d64-b066-db7c79abe156"><em data-sider-select-id="964c42f8-fea0-4081-910f-30a1ed5e8e37"><strong><u>Test Input with Froala</u></strong></em></p>
<p data-sider-select-id="71d42064-d3aa-4d64-b066-db7c79abe156"><em data-sider-select-id="964c42f8-fea0-4081-910f-30a1ed5e8e37"><strong><u>Test Input with Froala</u></strong></em></p>

Test Input with Froala

JAKARTA – Keputusan besar diambil oleh Yanti Lidiati pada tahun 2011. Berada di puncak kariernya sebagai Kepala Human Resource Development di sebuah perusahaan farmasi besar di Ibu Kota, wanita berusia 55 tahun ini justru memilih kembali ke kampungnya di Desa Lampegan, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung. Saat itu, ia harus merawat ibunya, Tjitjih Rukarsih, yang tengah terbaring sakit.

 Di sela-sela merawat sang ibu, Yanti memperhatikan sejumlah ibu yang tidak banyak beraktivitas dan cenderung ngobrol ngalor-ngidul. Ia menilai ibu-ibu itu seharusnya bisa menghasilkan uang ketimbang ngerumpi. Muncullah ide untuk mengajak ibu-ibu itu belajar menjahit. Namun, sebagian besar dari mereka menolak gagasan Yanti karena tidak punya kepercayaan diri dan tidak yakin produk yang dihasilkan bisa laku terjual.

Yanti tak mau menyerah. Pada 2016, ia membentuk kelompok bernama Wanita Mandiri dengan anggota tujuh orang. Pelan-pelan dia membimbing para ibu untuk memulai usaha menjahit. Mereka mulai fokus membuat blazer dengan bahan sarung premium. Produknya diberi merek It’s Blazer Ibun.

“Desainnya saya yang buat, ibu-ibu itu yang mengerjakan,” kata Yanti dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (27/8).

Lama-kelamaan, usaha para ibu membuahkan hasil. Mereka pun bisa mendapatkan penghasilan lebih. Kesuksesan itu beredar dari mulut ke mulut dan menarik lebih banyak perempuan untuk bergabung di Wanita Mandiri. Jumlah anggota pun berkembang menjadi hampir 50 orang.

Pertumbuhan anggota bukan tanpa seleksi ketat. Yanti tidak serta-merta menerima setiap orang yang ingin bergabung. Ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu para perempuan harus mau menempuh pendidikan paket B dan C, atau setara SMP dan SMA. Persyaratan itu muncul karena mayoritas ibu yang tinggal di Desa Lampegan hanya berpendidikan sekolah dasar.

“Kalau mereka bersedia ambil paket B atau C, saya berjanji mendampingi wirausahanya,” tutur Yanti.

Aktivitas Wanita Mandiri menarik perhatian PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Kamojang. Perusahaan itu lantas memberikan bantuan berupa mesin jahit. Dengan begitu, produktivitas ibu-ibu kian meningkat.

Corporate Secretary PT PGE, Muhammad Baron mengatakan, korporasinya juga berupaya mengembangkan kapasitas kelompok tersebut.

“Caranya dengan mengadakan pelatihan pengelolaan kewirausahaan, pelatihan marketing, peningkatan kapasitas, dan mendukung promosi produk Wanita Mandiri dengan mengadakan pameran,” kata Baron.

Selama hampir lima tahun berdiri, Wanita Mandiri pun telah mengikuti sekitar 30 pameran, baik nasional maupun internasional.

Belakangan, Wanita Mandiri memperluas bidang usahanya di sektor kuliner dan kerajinan tangan. Untuk kuliner, misalnya, kelompok itu membuat keripik dan kue bolen. PGE pun kembali memberikan bantuan berupa peralatan pendukung kepada setiap anggota Wanita Mandiri, sesuai dengan produk yang dihasilkan.

“Bantuan dari PGE membuat produktivitas ibu-ibu meningkat,” ucap Yanti.

PGE Area Kamojang sebelumnya juga ikut membantu ibunda Yanti, Tjitjih Rukarsih. Perusahaan itu mendukung kegiatan kejar paket A, B, dan C yang diadakan oleh Yayasan Pendidikan An Nur yang didirikan oleh Tjitjih pada 2004. PGE bahkan ikut mendirikan bangunan sekolah untuk membantu mengurangi buta huruf.

Bantu ABK dan Rangkul Anak Punk
Tak hanya membantu ibu-ibu membentuk kelompok bernama Wanita Mandiri, Yanti juga membantu anak berkebutuhan khusus (ABK) dan merangkul sejumlah anak punk.

Suatu hari, Yanti menyaksikan sejumlah anak punk kongkow-kongkow di Alun-alun Majalaya. Ia lalu mendekati anak-anak itu dan mengajak mengobrol. Tidak hanya sekali, Yanti berkali-kali mendekati dan mencoba merangkul mereka.

Pada hari berikutnya, seorang putri punk bernama Ayu datang ke rumahnya dan minta diajarkan menjahit. Yanti pun terharu melihat kesungguhan niat Ayu.

“Saya sangat terharu. Mereka punya harapan dan masa depan,” katanya.

Lama-kelamaan, anak punk yang dibina Yanti bertambah hingga 25 orang dan lebih dari separuhnya terbilang aktif.

Mereka pun kerap berkumpul di gazebo yang dibangun atas bantuan PT Pertamina Geothermal Energy. Yanti mempunyai program Wani Robah, khusus membina anak punk. Menurut Yanti, sejumlah anak punk—yang kerap diidentikkan dengan anak nakal dan sulit diatur—mulai rajin beribadah. Awalnya, mereka enggan masuk masjid karena sebagian tubuh mereka dipenuhi tato.

“Saya ingatkan mereka, tetaplah beribadah karena Tuhan akan melihat semua niat baik mereka,” ujar Yanti.

Sementara, program untuk ABK dimulai sejak tahun 2016. Kala itu, PT PGE mengembangkan program "SEHATI: Terapi Eduplay" untuk anak istimewa di kecamatan Ibun. Sebagai bentuk pengembangan program, PT PGE bersinergi dengan Yanti sebagai motivator sekaligus pendamping parenting untuk orang tua anak istimewa tersebut. 

Bersama terapis dari alumni Pendidikan Luar Biasa Universitas Pendidikan Indonesia, Yanti, dan kader kesehatan desa membantu orang tua berlatih memberikan terapi untuk anak-anak mereka.

“Pada anak ABK, banyak yang membutuhkan terapi. Selama ini dibantu PGE. Namun, saya ingin para ibu belajar terapi dari terapis. Ini merupakan salah satu cara untuk membuat mereka mandiri. Para ibu bisa kapan pun memberi terapi ke anak mereka tanpa perlu membayar,” katanya.

Ia terutama mendorong perubahan mindset dari para orang tua penyandang disabilitas. Yaitu, agar para orang tua tidak menganggap anak-anak mereka sebagai beban. Yanti menyatakan bahwa anak-anak itu istimewa dan bisa dibekali dengan berbagai keterampilan.

“PGE selama ini bisa menerima masukan untuk program sesuai kebutuhan masyarakat. Di sini, ada kebutuhan untuk kemandirian perempuan, anak punk, dan disabilitas,” ucap Yanti bersyukur.

Yanti punya gagasan membangun sekolah untuk kaderisasi. Ia selalu mencari cara agar bantuan CSR PGE berlanjut, berkembang, dan berdampak luas ke masyarakat di sekitar.

Terdampak Pandemi
Akan tetapi, pandemi covid-19 ikut mempengaruhi aktivitas yang dibina Yanti. Ia tak bisa lagi bebas menggelar pertemuan dengan para penyandang disabilitas dan keluarganya, serta mengadakan pelatihan untuk anak-anak punk.

Namun, Yanti tak menghentikan sepenuhnya aktivitas yang sudah ia jalani. Setiap Ahad pagi, Yanti melanjutkan program Beyond SEHATI: Terapi Eduplay. Ia mengumpulkan anak-anak disabilitas dan orang tuanya. Bersama-sama mereka bermain, bernyanyi, dan menari.

Yanti pun bertekad melanjutkan program tersebut dengan nama Kelompok Bermain Berdaya, yang berarti “berbeda tetap berkarya”. Yanti juga mengadakan kegiatan kreatif bagi anak istimewa tersebut berupa membaca, menulis, merangkai bunga, dan juga bermain bersama untuk meningkatkan keterampilan sosial mereka.

Pilihannya dahulu pulang ke kampung untuk merawat ibu, membuat Yanti bertekad agar tetap bisa melatih orang-orang di sekitarnya. Kini, ia tak berminat kembali ke Jakarta, meskipun ibundanya telah berpulang pada 16 Agustus lalu.

Sementara, untuk kelas menjahit, Yanti membuka kelas online. Ia pun berharap pandemi covid-19 bisa segera berakhir. Sebab, ia menilai pertemuan secara online kurang efektif. Terutama untuk mereka yang belajar menjahit.

Baron menyebutkan, dukungan yang diberikan PGE terhadap Yanti merupakan bagian dari tanggung jawab perusahaan dalam hal Environment, Social, and Governance (ESG). Seperti diketahui, ESG menjadi faktor utama untuk mengukur tingkat keberlanjutan dan dampak sosial dari investasi yang sudah dilakukan perusahaan. Tidak hanya itu, penerapan ESG, khususnya dari sisi lingkungan, sebagai wujud dari sebuah perusahaan dalam mendukung implementasi green economic.

“Selain itu, bila kemandirian perempuan di kelompok Wanita Mandiri kuat, maka diharapkan dapat menimbulkan multiplier effect, seperti adanya lapangan kerja sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini selaras dengan poin delapan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG), yaitu pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi. Di samping itu, program-program CSR PGE juga mencakup poin empat yakni pendidikan berkualitas dan poin  lima yakni kesetaraan gender,” ungkap Baron.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar