c

Selamat

Rabu, 24 April 2024

NASIONAL

15 Maret 2021

21:00 WIB

Test Input with Froala

Test Input with Froala

Editor:

<p data-sider-select-id="71d42064-d3aa-4d64-b066-db7c79abe156"><em data-sider-select-id="964c42f8-fea0-4081-910f-30a1ed5e8e37"><strong><u>Test Input with Froala</u></strong></em></p>
<p data-sider-select-id="71d42064-d3aa-4d64-b066-db7c79abe156"><em data-sider-select-id="964c42f8-fea0-4081-910f-30a1ed5e8e37"><strong><u>Test Input with Froala</u></strong></em></p>

Test Input with Froala

JAKARTA – Setahun sudah Heny Febrianita Laia (26) tak pernah bertemu keluarganya. Sebetulnya, andaikan mau, dia bisa pulang ke rumah. Toh, perjalanan pulang hanya memakan waktu sekitar satu jam. Namun, keinginan ini dibuangnya jauh-jauh. Heny lebih memilih membuka kamar indekos bersama seorang rekan sejawat.

“Sudah setahun saya tak bertemu dengan orang tua dan keluarga. Berbulan-bulan ketakutan itu saya rasakan,” kata Heny, saat berbincang dengan Validnews, Minggu (14/3).

Maklum kalau Heny merasa was-was kalau bertemu keluarga. Sebab tugas keseharian perempuan kelahiran Nias itu sejak awal praktis hanya satu; mengurusi pasien covid-19 di Rumah Sakit Daerah (RSUD) Kota Medan, Sumatra Utara. Tugas ini sudah dilakoninya sejak Maret 2020 lalu. Padahal, kala itu, dia baru seminggu menjadi perawat.

Perawat muda ini ingat betul betapa takut dan bimbang saat ditugaskan merawat pasien covid-19. Terlebih, dia akan ditempatkan memeriksa perkembangan pasien di ruang isolasi. Sempat terbersit pikiran untuk mundur, tapi niat itu dimentahkannya.

Tangannya bergetar kali pertama memegang tangan pasien covid dan alat medisnya. Sembari melakukan pengecekan, sesekali dia memperhatikan alat pelindung diri (APD), apakah sudah terpasang rapi atau tidak.

Tiap kali pulang kerja, Heny juga merasa harus menjaga jarak dengan orang-orang. Dia tak tahu, apakah virus itu menempel padanya atau tidak. Saat membeli makanan untuk dibungkus pulang. Hany selalu meminta penjual untuk menaruh di tempat yang jauh dari pembeli lainnya. Kemudian, dia mengambil dan bergegas meninggalkan warung makan itu.

Di kamar kos, Heny berbagi ruang tidur dengan dua orang temannya. Ketiganya selalu menggunakan masker saat berada di dalam kamar kos. Hingga tidur, masker tak lepas juga.

Hindari Perawat
Heny dan rekan kerjanya juga belajar memaklumi ketika mendapati orang-orang yang dikenalnya terlihat menghindari bertemu dengannya. “Teman-teman perawat juga mengeluh hal itu. Dijauhi orang-orang. Psikologi kami diserang dengan sanksi sosial itu,” ucap Heny.

Ana Auliyah (25), seorang perawat di Rumah Sakit Siloam Hospitals ASRI yang terletak di Jalan Duren Tiga Raya, Pancoran, Jakarta Selatan punya cerita mirip. Sudah lebih dari setahun Ana tak pernah bertemu dengan keluarganya.

Sejak merawat pasien covid-19, manajemen rumah sakit menempatkan para perawatnya di sebuah asrama. Ada puluhan orang yang tinggal di tempat itu. Satu kamar berisi sedikitnya lima orang perawat.

Bukan tanpa alasan mereka ditempatkan di sana. Ana bercerita, sejak awal, mereka memang dilarang untuk berinteraksi dengan keluarganya. Larangan keras diberikan kepada yang punya keluarga mengidap penyakit hipertensi atau gula darah. Sebaliknya, Ana tak pernah diajak untuk mengikuti pertemuan keluarga besarnya.

“Tapi saya sih tahu diri saja. Positif-positif saja mikirnya. Kalau mau ketemu ya saya harus swab test dulu untuk memastikan,” kata Ana, saat berbincang dengan Validnews, Minggu (14/3).       

Berbeda dengan Heny, Ana tak takut dengan virus corona itu. Dia hanya mengeluh karena lelah menggunakan alat pelindung diri. Ana harus menahan rasa panas saat mengenakan baju itu. Belum lagi, dia harus menahan haus dan lapar saat menggunakan pelindung diri tersebut. Hasrat untuk buang air kecil dan air besar saat hendak bertugas, harus ditahan. APD yang dikenakannya hanya sekali pakai.  

Pandemi ini memang begitu berpengaruh terhadap Ana dan rekan sejawatnya berubah. Biasanya, saban pagi, dia hanya sarapan, lalu berangkat kerja. Kini, para perawat harus mengonsumsi berbagai macam buah-buahan, susu segar dan vitamin untuk daya tahan tubuh. Olahraga juga menjadi menu wajib,

Namun pola hidup yang kian membaik itu, tak bisa menghindarkan Ana dari serangan virus corona. Pada pertengahan Januari 2021, Ana dinyatakan positif terjangkit virus mematikan. Sebaliknya, dia tak merasa terjangkit.

Ana kaget. Tubuhnya langsung lemah. Dia tak percaya masih terjangkit saat sudah menaati seluruh protokol kesehatan yang disarankan oleh pemerintah kepada para tenaga medis. Namun, dirinya sadar ketika imun tubuh mereka sedang berada dalam kondisi tak prima. Ditambah, rutinitas mereka bertemu dan merawat pasien covid-19.

Dia pindah kost. Di sana, dia harus mengurus dirinya sendiri. Makanan pun dipesannya melalui aplikasi online sampai tes dilakukan. Setelah sehat, dia kembali bekerja untuk merawat para pasien covid-19 itu.   

Tekanan Psikologi
Cerita-cerita beratnya kerja perasat diamini Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhillah. Harif mengungkapkan, banyak perawat yang mengalami tekanan psikologi sejak merawat pasien covid-19.

Apalagi, saat virus corona baru tiba di Indonesia. Saat itu, stigma negatif tentang perawat mulai timbul di mata masyarakat. Makanya, tak sedikit perawat yang mendapatkan sanksi sosial. Baik dari lingkungan pertemanan hingga keluarganya.

“Ini bisa kita lihat dari keluhan-keluhan berdasarkan dialog dengan anggota. Memang, ada beban psikologi. Apalagi waktu akhir tahun, jumlah pasien tinggi sementara fasilitas terbatas,” kata Harif, kepada Validnews, Minggu (14/3).

Harif menuturkan, perawat merupakan garda terdepan untuk masalah perawatan pasien covid-19. Makanya, bila jumlah pasien melonjak, namun fasilitas ruangan terbatas membuat para perawat harus bekerja ekstra. Sebab, mereka harus menjaga pasien hingga mendapatkan ruang perawatan.

Tak ayal, situasi itu membuat banyak perawat harus kerja lembur. Khawatirnya, hal ini malah membuat fisik para perawat menurun. Akibatnya, mereka bisa cepat tertular virus mematikan itu saat menjalani tugasnya.   

Lambat laun para perawat mulai menyesuaikan diri dengan beban pekerjaannya. Terutama, ketika berinteraksi dengan pasien covid-19. Mereka juga tak lagi mempermasalahkan bekerja lembur. Akan tetapi, yang pasti mereka mendamba semua kembali normal. Pandemi usai, menjadi doa dan asa yang selama ini di hati mereka. (James Manullang)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar