c

Selamat

Jumat, 29 Maret 2024

NASIONAL

26 Agustus 2021

10:09 WIB

Buruh Perempuan Rentan Alami Pelecehan

Usulkan pemberatan hukuman bagi atasan pelaku pelecehan

Penulis: Gisesya Ranggawari

Editor: Leo Wisnu Susapto

Buruh Perempuan Rentan Alami Pelecehan
Buruh Perempuan Rentan Alami Pelecehan
Ilustrasi pelecehan seksual pada wanita. Ist

JAKARTA – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Luluk Nur Hamidah mengungkapkan, perempuan pekerja di kawasan pabrik sangat rentan mengalami kekerasan seksual.

Bahkan, kekerasan seksual itu, kata Luluk, dimulai dari sejak perempuan membutuhkan pekerjaan, bertemu calo atau agen, hingga ketika telah berada di tempat kerja. Menurut dia, praktik seperti diduga karena adanya ketimpangan relasi sosial antara atasan dan bawahan.

“Kekerasan seksual itu sebagai suatu hal yang tidak main-main. Posisi para pekerja di pabrik sangat powerless, marginal, dan mereka tidak tahu harus melakukan apa, karena di sana ada kepentingan yang harus mereka jaga, mulai dari persoalan ekonomi, keluarga, dan sebagainya,” urai Luluk dalam keterangan tertulis, Kamis (26/8).

Meski demikian, Luluk juga menyebut tidak hanya perempuan yang rentan mengalami kekerasan seksual di tempat kerja. Ada juga laki-laki yang menerima kekerasan seksual, baik intimidasi (power) yang berasal dari sesama lelaki maupun juga bisa berasal dari perempuan.

Karena itu, dalam dinamika pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), pernah terlintas masukan bahwa pelaku kekerasan tidak boleh dilihat sama dari sisi relasi dengan korban.

Hal ini berkaitan dengan pemberatan hukuman bagi para pelaku kekerasan yang seharusnya memiliki kewenangan untuk melindungi orang. Baik yang ada di lingkup keluarga maupun tempat kerja.

“Kalau misalnya pelaku itu memiliki hubungan relasi yang dominan terhadap korban, misalnya orang tua melakukan kekerasan seksual terhadap anak, apakah didapatkan pemberatan hukuman," tanya Luluk.

Menurut hasil riset Aliansi Pekerja/Buruh Garment Alas Kaki dan Tekstil Indonesia (APBGATI) dari data Perempuan Mahardika tahun 2017, terungkap bahwa 56,5% dari 773 buruh perempuan yang bekerja di 38 perusahaan garmen pernah mengalami pelecehan seksual di pabrik.

Sementara, 437 buruh perempuan korban pelecehan seksual, sebanyak 93,6% tidak melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya.

"Hasil riset tersebut menunjukkan kekerasan seksual tidak mengenal tempat, tidak pilih gender pelaku dan korbannya. Sehingga, titik rentan itulah yang harus kita lindungi. Korban adalah korban, pelaku adalah pelaku,” papar dia.

Ketua Umum APBGATI, Ary Joko Sulistyo mendukung DPR dan pemerintah segera menyelesaikan pembahasan RUU PKS. Ia menilai RUU PKS diperlukan sebagai upaya perlindungan terhadap keselamatan para pekerja, khususnya perempuan dari kekerasan seksual di tempat kerja.

"Para pekerja di sektor industri tekstil dan garmen sebanyak 90 persen adalah perempuan sehingga agar tidak terjadi 'bom waktu' terjadinya pelanggaran maka kami mendorong DPR dan pemerintah mengesahkan RUU PKS sebagai payung hukum perlindungan bagi pekerja," jelas dia.

Menurut Ary, RUU PKS diharapkan dapat menjadi payung hukum yang memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi para pekerja sebagai bentuk proteksi sehingga bisa bekerja dengan tenang tanpa khawatir terjadi tindak kekerasan seksual di tempat kerja.

Selain memberikan kepastian hukum, RUU PKS juga diharapkan memberikan sanksi pidana yang bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak kekerasan seksual.

"Kami berharap RUU ini juga memberikan pembinaan dan pendampingan bagi para korban kekerasan seksual sehingga diharapkan pemerintah menyiapkan tempat rehabilitasi untuk memulihkan kondisi mental korban," tutur Ary.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar