c

Selamat

Kamis, 25 April 2024

NASIONAL

29 Juli 2021

20:20 WIB

Test Input with Froala

Test Input with Froala

Penulis: Gisesya Ranggawari,Wandha Nur Hidayat,Herry Supriyatna,

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p data-sider-select-id="71d42064-d3aa-4d64-b066-db7c79abe156"><em data-sider-select-id="964c42f8-fea0-4081-910f-30a1ed5e8e37"><strong><u>Test Input with Froala</u></strong></em></p>
<p data-sider-select-id="71d42064-d3aa-4d64-b066-db7c79abe156"><em data-sider-select-id="964c42f8-fea0-4081-910f-30a1ed5e8e37"><strong><u>Test Input with Froala</u></strong></em></p>

Test Input with Froala

JAKARTA – Seorang peneliti Kementerian Dalam Negeri, tahun 2018 menulis sebuah esai di laman badan litbang (balitbang) kementerian itu. Dua hal utama yang dia sorot; tentang peran minim Balitbang Kemendagri dan persepsi miring bagi aparatur sipil negara (ASN) yang ada di lembaga itu.

Dia memberi contoh akan peran minim itu. Salah satunya adalah praktik penyusunan peraturan daerah (perda).

Menurut dia, Balitbang Kemendagri sejatinya melakukan monitoring dan evaluasi dengan melahirkan naskah akademis (NA) penyusunan perda. Minimal, menghasilkan standar NA bagi litbang pemerintah daerah guna menyusun perda.   

Selama ini, NA suatu perda tidak lebih lebih mengesankan hanya sebagai suatu pelengkap.

Eksesnya, jangan lagi bertanya kualitas 60.000-an perda di banyak daerah di Tanah Air. Wajar jika kemudian tak kurang dari 3.134 perda harus dibatalkan. Bahkan banyak yang diujimaterikan.

Dia juga menyoroti persepsi banyak orang tentang awak balitbang. Di kementeriannya, banyak orang menilai litbang sebagai tempat ‘keramat’ yang terkesan dihindari. Ada stigma yang menjadi momok kalangan ASN.

Jika seseorang yang ditempatkan di balitbang, hampir pasti karier yang bersangkutan tak lagi moncer. Lebih parah lagi, ada yang memelesetkan balitbang singkatan dari bakal sulit berkembang.

Begitulah gambaran kecil tentang balitbang kementerian, di persepsi banyak orang. Keadaan ini mau diubah oleh pemerintah dengan membentuk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).  

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33 Tahun 2021 tentang BRIN menjadi dasaarnya. Lembaga ini dipersepsikan menjadi wadah integrasi penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi.

Hal itu diamanatkan Pasal 48 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, serta Pasal 121 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Berdasarkan Perpres 33 Tahun 2021, Presiden Joko Widodo memberi tenggat waktu dua tahun agar integrasi balitbang kementerian dan lembaga negara terlaksana. Balitbang kementerian nantinya akan tertampung di tujuh deputi di BRIN.

Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengungkapkan, saat ini proses migrasi litbang kementerian ke BRIN sedang berjalan. Dalam waktu dekat, seluruh fungsi litbang kementerian akan beralih di BRIN.

Sekarang sudah ada hampir 14 yang sedang menjalani proses perpindahan dari 48 unit litbang Kementerian/Lembaga Negara atau K/L. Di antara 14 yang dalam proses ini, termasuk LIPI dan BATAN.

Jadi Yang Terbesar
 
Tahapan perpindahannya akan mengikuti kebijakan dari setiap kementerian/lembaga. Ini mengikuti proses transisi kelembagaan masing-masing kementerian. Meskipun, BRIN telah menyiapkan beberapa opsi untuk melakukan perpindahan ini, semua tergantung pada karakter dari kementerian masing-masing.

Ia mengatakan, program riset di litbang kementerian nantinya akan kosong. Dalam konteks ini, BRIN sebagai objek penerima limpahan program. Maka dari itu, BRIN telah menyiapkan beberapa opsi jenis perpindahan.

"Ada yang akan diintegrasikan seluruhnya seperti ‘bedol desa’ gitu. Ada yang parsial. Misalnya, dia badan riset dan pendidikan pelatihan (diklat). Nah, yang dipindah hanya bagian risetnya saja. Ada juga hanya programnya yang diintegrasikan," jelas Handoko kepada Validnews, Senin (26/7).

Perpindahan ini, kata Handoko juga selaras dengan semangat utama pembentukan BRIN yaitu untuk mengintegrasikan sumber daya baik itu manusianya maupun infrastruktur dan juga anggarannya. Jadi, diharapkan dalam praktiknya, BRIN bisa langsung bisa menyentuh critical mass.

Handoko percaya diri betul perpindahan ini akan menjadi sesuatu yang besar. BRIN akan memiliki kapasitas dan sumber daya yang jauh lebih besar juga, dan tentunya infrastruktur yang mumpuni.

"SDM-nya besar, infrastrukturnya gede, anggarannya juga gede. Jadi ini akan menjadi salah satu kementerian/lembaga dengan anggaran besar," ucap dia.

Peleburan Balitbang Kementerian/Lembaga ke BRIN, memang menjadikan badan baru ini punya kemampuan melakukan banyak hal yang sebelumnya tidak bisa dilakukan oleh unit litbang manapun.     

Hapus Stigma
Dari sisi kepegawaian nantinya otomatis juga akan berpindah. Meski demikian, Laksana juga tidak menampik stigma pegawai di litbang kementerian terkesan nihil peran. Dia menekankan, eksistensi BRIN justru akan mengubah stigma itu.

Manajemen yang baru dengan standar yang baru diyakini akan menegaskan pemudaran persepsi itu. Di internal, badan ini akan menetapkan reward and punishment yang lebih jelas.

"Di BRIN ini kan kita membawa standar baru, yang cukup tinggi, proses bisnis juga berubah. Saya yakin dalam waktu tidak terlalu lama stigma itu akan hilang," tegas Handoko.

Meski pegawai kementerian dari lembaga berpindah secara otomatis, tak lantas badan baru ini kecukupan sumber daya manusia (SDM).  BRIN akan merekrut sebanyak 325 periset dengan kualifikasi minimal S3 dan menyasar diaspora. Perekrutan ini dinilai sebagai fondasi kerja BRIN, bahwa dalam riset yang nomor satu diperlukan adalah SDM yang kuat.

Peran riset memang krusial terhadap suatu negara. Hasil studi Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), menyebutkan problem ketimpangan di suatu negara memang beriringan dengan kemajuan teknologi. Khususnya, terkait dengan kualitas SDM, yang berhubungan dengan layanan pendidikan, kesehatan, serta penguasaan keahlian dan pengetahuan.

Kualitas SDM tergantung pada sejauh mana pemerintah mau berinvestasi dalam tiga hal tersebut. Namun, banyak pula yang gagal melakukannya.

Salah satu penyebabnya adalah minimnya ukuran dan penelitian yang berkualitas sebagai dasar pembuatan kebijakan dan aksinya. Maka, penelitian yang berkualitas menjadi penting. Tidak hanya untuk meningkatkan SDM, tetapi juga sebagai dasar untuk membangun kebijakan publik yang berkualitas dan akurat bagi upaya peningkatan hal tersebut.  

Populasi
Hal yang menjadi soal, jumlah peneliti di Tanah Air juga terbilang minim. Menurut data LIPI tahun 2018, jumlah pejabat fungsional peneliti adalah sebanyak 9.661 orang.

Dari jumlah tersebut, peneliti terbanyak berada di Badan Litbang Kementerian Pertanian sejumlah 1.850 orang atau sebesar 19% dari total. Kemudian di LIPI sejumlah 1.715 orang atau sebesar 18%.

Minimnya anggaran dan jumlah SDM dari peniliti juga berdampak pada jarangnya penelitian yang terpublikasi. Menurut data SCImago, sepanjang 1996–2016, jumlah publikasi terindeks global Indonesia mencapai 54.146 publikasi.

Bila dibandingkan Singapura, Thailand, dan Malaysia, peringkat Indonesia masih jauh berada di bawah ketiga negara ASEAN itu. Pada 2016, di tingkat dunia, Indonesia menempati peringkat 45 untuk jumlah dokumen yang terpublikasi internasional. Jelas kurang menggembirakan.

Di kawasan Asia, posisi Indonesia berada di urutan 11, sedangkan di tingkat ASEAN peringkat keempat. Selain itu, tren jumlah dokumen publikasi di Singapura, Thailand, Malaysia dan Indonesia juga terus meningkat.

Mulai 2010, Malaysia menggeser posisi Singapura ke peringkat kedua. Terkait dokumen yang terpublikasi di Indonesia, jumlahnya meningkat menjadi 46,41% (11.470 publikasi) jika dibandingkan 7.834 publikasi pada 2015. Kendati naik, angka ini masih jauh bila dibandingkan Singapura (19.992 publikasi) dan Malaysia (28.546 publikasi).

Kunci Keberhasilan
Di tengah membuncahnya harapan pada BRIN dan masa depan riset di Tanah Air, Periset dari Mindset Institute, Panca Pramudya mengaku belum mau berharap banyak. Dia enggan memprediksi terlalu jauh. Peleburan litbang kementerian ke BRIN juga dianggapnya masih prematur dan terlalu dini untuk diprediksi.

Namun, ia menyebutkan, keberhasilan migrasi ini nantinya tergantung dari keseriusan BRIN sendiri. Badan baru ini harus benar-benar profesional dan mau mendukung kultur riset yang baik, hubungan antar riset yang terdisiplin, serta riset yang ada mestu didekatkan dengan dunia sosial dan kebijakan.

"Itulah menurut saya salah satu faktor kuncinya. Kalau semuanya bisa dilakukan, ini akan bagus untuk dunia penelitian dan riset kita," ucap Panca kepada Validnews, Senin (26/7).

Kalangan dewan juga mengamati ini. Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto memandang keputusan migrasi ini memunculkan sisi keuntungan dan kerugian.

Mulyanto meyakini, BRIN akan berpotensi menciptakan konsolidasi SDM peneliti. Namun, lamanya penyesuaian dan keengganan peneliti yang juga belum tentu bersedia pindah, harus dimitigasi.

Dia juga menilai, ada kemungkinan skenario lain ‘penolakan’ sektoral. Kajian kebijakan kementerian bisa saja dilakukan oleh Sekjen atau Dirjen. Alasan bahwa penelitian terapan untuk solusi teknis tidak mudah jika langsung dipindahkan ke BRIN, bisa saja mengemuka.

"Misalnya seperti Balitbang Pertanian dan Balitbang PU akan mengalami masalah yang kedua seperti peralatan lab yang tidak bisa dipindah, atmosfer riset dan budaya pola yang sudah terbangun mendadak berubah," urai Mulyanto kepada Validnews, Rabu (28/7).

Mulyanto menilai, balitbang Kementerian masih tetap dibutuhkan, khususnya pada penelitian terapan yang spesifik dan sektoral kementerian. Dia berpersepsi, sifat penelitian BRIN harusnya lebih menyentuh hulu persoalan.

Hal lain yang dikhawatirkan juga adalah alur dan proses kerja. Jika BRIN harus menangani masalah sektoral teknis yang spesifik dan banyak, Mulyanto menilai bisa jadi proses birokrasinya akan panjang.   

Masalah Utama
Ada hal utama yang juga jadi sorotan dewan. Masalah riset di Tanah Air itu utamanya adalah soal anggaran bukan soal kelembagaan. Anggaran riset Indonesia hingga kini masih sekitar 80% dari sektor pemerintah. Padahal, mestinya peran anggaran riset dipegang oleh swasta.

Dengan kondisi ini, piramida anggaran riset di Indonesia terbalik dengan kelaziman di negara-negara maju. Artinya riset banyak disetir oleh pemerintah bukan oleh swasta. Hal ini menunjukkan komersialisasi riset di Tanah Air masih rendah.

DPR berharap peleburan kelembagaan riset ini menyatukan anggaran riset yang tersebar ke beberapa kementerian diamankan dalam satu kantong. Jika kondisi seperti semula, anggaran riset tetap ada di kesekjenan atau direktorat jenderal masing-masing kementerian, bisa jadi BRIN hanya jadi ‘pepesan kosong’.

Persepsi lain dikemukakan Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Nadia Fairuza.  Bukan soal administrasi yang membuatnya bimbang. Ia mengaku khawatir justru terjadi potensi penurunan produktivitas riset dibandingkan ketika litbang masih berada di bawah kementerian.

Demi hasil yang maksimal, BRIN disarankan untum melakukan pemetaan riset-riset strategis sesuai dengan kebutuhan Indonesia ke depannya, terutama terkait dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produktivitas di tiap-tiap sektor.

"Yang mana hasil penelitian ini dapat menjadi landasan dalam pengambilan kebijakan (evidence-based policy)," ujar Nadia kepada Validnews, Rabu (28/7).

Hal yang juga diharapkan dari banyak periset dan lembaga riset, adalah BRIN dapat bekerja sama dengan lembaga penelitian swasta untuk berbagi resources dan pengalaman serta menumbuhkan iklim kolaborasi yang dinamis dalam dunia penelitian di Indonesia.

Apa yang dikemukakan Kepala BRIN saat pelantikan, bahwa lembaga itu ingin menjadi penggerak riset dan inovasi bagi kalangan di luar institusi ini, termasuk swasta, perguruan tinggi dan industri. sekaligus memberikan dampak ekonomi dari berbagai aktivitas riset dan inovasi menjadi booster bagi periset.

Jangan sampai cita mulia menghapus stigma ini tetap tak tercapai lantaran persoalan administratif yang mengganjal. Semoga.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar