c

Selamat

Jumat, 29 Maret 2024

NASIONAL

22 Juli 2021

20:51 WIB

Tergerusnya Kemampuan Dasar Siswa

DPR menilai, hanya 30% dari siswa bisa mengikuti metode pembelajaran selama pandemi

Penulis: James Fernando,Wandha Nur Hidayat,Seruni Rara Jingga,

Editor: Leo Wisnu Susapto

Tergerusnya Kemampuan Dasar Siswa
Tergerusnya Kemampuan Dasar Siswa
Ilustrasi belajar secara daring menggunakan internet. ANTARAFOTO/M Risyal Hidayat

JAKARTA – Aleesya Sabrina (9) menuliskan secara urut abjad, baik huruf kapital maupun huruf kecil. Mulai dari huruf pertama dan selanjutnya, tak ada kendala. Namun, ketika sampai pada huruf ‘k’, dia menulis bentuk huruf yang sama.

Semua ditulis dengan huruf ‘k’ kecil. Pembedanya, untuk kapital, ukurannya saja yang diperbesar.  

Begitu pula saat menulis huruf ‘q’ yang seharusnya berbeda bentuknya antara huruf kapital dan huruf kecil. Bagi Sabrina, tulisan huruf ‘q’ adalah sama yakni ‘Q’, hanya berbeda ukuran saja. Dia bangga menunjukkan kebisaannya ini kepada orang tuanya, saat belajar di rumah di awal pekan ini.

Sabrina lancar membaca dan berhitung. Padahal, separuh waktu sekolah dari kelas 1 dan setahun pelajaran kelas 2, dilakukan secara daring. Orang tuanya punya peran untuk hal ini. Sayangnya, kerap juga mereka tak sadar ada kekurangan kecil dari pendampingan yang dilakukan.

Baca, tulis, berhitung atau disingkat calistung adalah hal dasar yang dipelajari murid di kelas 1 dan 2 sekolah dasar. Setelah itu, mereka seharusnya lancar dan tahu perbedaannya.

Peran guru diperlukan untuk memoles ‘kekurangan’ kecil seperti yang dialami Sabrina. Namun, belakangan ini sulit dilakukan. Belajar di kelas secara langsung sudah tak terjadi selama dua tahun belakangan.

Beberapa orang tua mencoba cara agar calistung bisa dikuasai oleh anaknya. Seperti pengalaman Taufik Ridwan (40) dan istrinya, orang tua dari Adera Aulia Hafiedz.

Sejak anaknya masuk SD, Taufik dan istrinya bergantian menemani Adera belajar daring. Saban hari, mereka mendampingi sang anak mengikuti pelajaran menggunakan aplikasi konferensi video.

Taufik bercerita, selama semester pertama, Adera kesulitan untuk membaca dan menulis. Dia menyadari, yang anak tak diajarkan dan diawasi secara langsung oleh guru.

Taufik langsung menggunakan jasa guru privat untuk mengajarkan anaknya membaca dan menulis. Selain itu, dia juga mendaftarkan anaknya untuk mengikuti pelajaran tambahan di sekolah secara langsung. Meski harus merogoh kocek yang besar, Taufik tak mau ambil pusing.

“Lebih dari tiga bulan, anak saya ikut les secara privat dan online. Alhamdulillah, sekarang sudah bisa membaca dan menulis,” kata Taufik, kepada Validnews, Kamis (22/7).

Puluhan Ribu Siswa
 Sabrina dan Adera jauh lebih beruntung dengan teman-teman mereka di Kabupaten Cianjur. Data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, sekitar 32 ribu siswa SD seumuran keduanya, kesulitan untuk calistung.

Selain Cianjur, situasi yang sama terjadi di Cimahi, Jawa Barat. Berdasarkan data yang diperoleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dari Pemerintah Kota Cimahi menyebut, ada 1.126 anak kelas 2 SD yang belum menguasai membaca dan menulis.

Sementara, negara memastikan belajar calistung mulai anak duduk di kelas 1 SD. Hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Tertulis, Pasal 69 ayat 5, penerimaan peserta didik kelas 1 SD/MI atau bentuk lain yang sederajat tidak didasarkan pada hasil tes kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, atau bentuk tes lain.

Namun, kala pandemi covid-19 melanda Tanah Air, para guru kesulitan memastikan anak didiknya mendapatkan pelajaran dengan baik. Kendalanya adalah tak semua anak yang duduk di bangku SD memiliki laptop atau pun telepon genggam untuk belajar.

Belum lagi, fasilitas internet di setiap wilayah berbeda-beda. Terkadang, guru terganggu memberikan materi kepada siswa jika jaringan internet buruk. Belum lagi, pemberian materi pelajaran itu tergantung dengan kuota internet.

“Semua ini menjadi hambatan untuk memberikan pelajaran yang baik,” kata Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnomo kepada Validnews, Kamis (22/7).

Tak hanya itu saja, saat PJJ berlangsung, sebagian guru di daerah tertentu, berinisiatif mengunjungi rumah siswa yang tak memiliki fasilitas belajar daring. Tujuannya, agar siswa tersebut bisa mendapatkan pelajaran yang sama dengan rekan sekelasnya.    

Masalah lain pun muncul. Jarak antara rumah peserta didik berjauhan. Hal ini pun menyulitkan guru memberikan pelajaran. Sebab, untuk menuju satu rumah saja, seorang guru membutuhkan waktu yang cukup lama.

Sementara, peserta didik yang akan diajari lebih dari lima orang.

Kondisi itu, kata Heru, terjadi setiap hari selama metode PJJ berlangsung. Heru menyebutkan, keterbatasan inilah yang menjadi faktor penghambat proses pembelajaran anak. 

“Dengan kondisi seperti itu. Sudah kehabisan waktu. Karena terus berulang-ulang harus seperti itu. Guru harus dari rumah ke rumah. Jadi, serba sulit kondisi seperti ini,” sebut Heru.

Persoalan Guru-Orang Tua
Meski sulit, Heru mengklaim, seluruh guru terus berupaya memberikan yang terbaik. Mereka berharap, kerja keras bisa mencegah terjadinya potensi learning loss atau menurunnya kompetensi belajar siswa selama pandemi covid-19 menyerang.

“Bersama-sama harus mencegah. Sekalipun, pada kenyataan learning loss itu sudah terjadi,” sebut Heru.

Direktur SD Direktorat Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah pada Kemendikbudristek, Sri Wahyuningsih mengamini adanya ekses PJJ ini. Pemerintah tak hanya mengkhawatirkan terjadinya learning loss anak didik saat ini. Pemerintah pun menyadari, terjadi penurunan nilai karakter pada generasi saat ini.

Ada banyak faktornya. Di antaranya, para guru memiliki keterbatasan untuk memberikan pelajaran kepada peserta didik. Mulai dari keterbatasan menggunakan teknologi hingga kesiapan sekolah memfasilitasi PJJ.

Sebaliknya, peran orang tua sebagai guru di rumah pun minim.  Para orang tua banyak bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Artinya, mereka tak bisa maksimal untuk mendampingi anaknya belajar.

Mengantisipasi ini, pemerintah mengeluarkan panduan mencegah learning loss.

Beragam layanan pun telah dikeluarkan oleh Pusat Data dan Informasi Kemendikbudristek. Di antaranya, Rumah Belajar, Guru Mengajar dan tautan pembelajaran lainnya. Layanan itu bisa diakses oleh sekolah negeri dan swasta.

Tak hanya itu saja, Kemendikbudristek menyiapkan modul belajar mandiri yang bisa digunakan oleh guru dan orang tua siswa/siswi dari kelas 1 SD. Tujuannya, untuk memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh hak belajarnya.

Tiap modul terdiri dari tiga sub tema yang diperuntukkan untuk guru, orang tua dan murid.  Semua hal di atas diyakini bisa mencegah merosotnya pendidikan karena minim tatap muka.    

Kendati demikian, Sri mengakui, penerapannya sangat bergantung kepada kesiapan guru di lapangan untuk mencegah learning loss. Makanya, Kemendikbudristek terus mengintervensi Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk memastikan peserta didik mendapatkan pelajaran dengan baik.

“Tentunya, tidak semua orang tua dan guru siap dengan perubahan ini. Sekalipun pemerintah sudah melakukan upaya-upaya menghindari terjadinya learning loss,” ujar Sri kepada Validnews, Kamis (22/7).

Prediksi Pemerintah
Pemerintah prediksi, banyak anak tak memahami calistung sebagai kemampuan dasar belajar ini. Makanya, Mendikbudristek, Nadiem Makarim mengeluarkan Surat Keputusan Bersama 4 Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19.

Sri menjelaskan, surat itu untuk mempersiapkan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) secara terbatas. Khususnya, di daerah zona hijau. Namun, konsep PTM harus dibuat dengan baik. Tiap Dinas Pendidikan diminta berkoordinasi dengan Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 untuk penerapan ini.  

Koordinasi itu untuk membuat, layanan kesehatan hingga mempersiapkan fasilitas pendukung PTM terbatas. Kemudian, berkoordinasi dengan orang tua murid agar mempersiapkan anaknya mengikuti PTM terbatas.    

Dalam PTM, peserta didik hanya mendapatkan pelajaran maksimal dua hingga tiga hari dalam satu minggu. Sementara, tiap harinya, para guru hanya memberikan materi selama dua hingga tiga jam.

“Tetapi kenyataannya di bulan Juli ini bersamaan dengan anak masuk sekolah di tahun ajaran baru, kita dihadapkan dengan peningkatan kasus yang eksponensial. Bahkan untuk jenis varian lain yang sangat berbahaya. Makanya, sekarang masih PJJ,” tambah Sri.

Pemerintah juga mengevaluasi soal banyaknya anak SD yang tak bisa membaca dan menghitung ini. Evaluasi ini melibatkan lembaga kajian hingga masyarakat. Sayang, Sri tak merinci hasil evaluasi soal calistung itu. Dia hanya menyebutkan salah satu evaluasi itu adalah learning loss.

Efektivitas PJJ
Data soal banyaknya siswa yang berkesulitan calistung, disorot Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dewan meminta, pemerintah membuat konsep pembelajaran yang lebih baik dari tahun ajaran 2020/2021.

Kepada Validnews, Syaiful Huda selaku Ketua Komisi X DPR menilai, tingginya angka anak yang belum bisa membaca dan menulis itu menunjukkan kegagalan metode PJJ.

Berdasarkan catatan Komisi X, PJJ hanya efektif sebanyak 30%. Artinya, hanya 30% dari siswa di Indonesia yang bisa mengikuti metode pembelajaran itu. Sisanya, tak mengerti materi belajar dengan baik.

Menurut Syaiful, sistem pendidikan belum bertransformasi dengan baik selama pandemi. Hal ini menyebabkan, banyak anak yang kesulitan membaca dan menghitung.

“Kemendikbudristek jangan pasrah. Jangan menerima begitu saja situasi seperti ini. Harus ada koordinasi langsung dengan dinas setempat. Lalu, lakukan metode pembelajaran yang efektif,” kata Syaiful, Kamis (22/7). 

Sebenarnya, Syaiful bilang, sejak awal pandemi Komisi X DPR telah memprediksikan kondisi ini. Karena itu, dewan kerap mendesak pemerintah untuk mempercepat penerapan PTM.

Sebab, dewan berpandangan, PTM merupakan jalan keluar untuk meningkatkan kemampuan belajar anak.

Hal yang menjadi perhatian utama adalah bagaimana caranya pemerintah harus menjadikan sekolah merupakan tempat yang paling aman bagi anak dari serangan virus corona.

Pada saat sama, selama pandemi peserta didik kerap bermain di lingkungan rumahnya. Akibatnya, banyak anak-anak yang terpapar covid-19.

“Opsi yang kami berikan harusnya di try and error oleh pemerintah. Apalagi, masyarakat yang menengah ke bawah itu tak bisa menggantikan peran guru di rumah,” lanjut Syaiful.

Di sisi lain, minimnya keterampilan anak ini juga disadari, tak lepas dari sulitnya para guru beradaptasi dengan kurikulum baru selama PJJ.   Dewan mendesakkan, guru juga harus diberikan semacam pelatihan khusus, semacam peningkatan kapasitas guru.  

Adanya berbagai kendala yang menjadi penyebab learning loss tak mudah menyelesaikannya. Pakar pendidikan Arief Rachman menuturkan, pemerintah harus mengevaluasi masalah calistung ini secara nasional. Dia meyakini, masalah orang tua dan guru di tiap daerah berbeda.

“Tapi apapun hasil evaluasinya, pemerintah harus memastikan pembelajaran tak berhenti. Harus ada kerjasama dengan orang tua dan guru serta dinas pendidikan di daerah,” kata Arief, kepada Validnews, Kamis (22/7).

Untuk mengantisipasi ini berlanjut, Arief menyarankan, pemerintah untuk membuat program khusus untuk anak-anak yang baru menginjak bangku sekolah. Persoalan calistung bisa diakomodasi di program ini.

“Program inilah yang bisa menjawab semua permasalahan pendidikan yang ada saat ini. Jadi, sangat perlu dibuat oleh pemerintah,” usul Arief.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar